Beberapa hari sebelumnya, di sebuah padepokan di atas Gunung Puncak Putih. Tinggalah seorang guru dengan muridnya. Puncak Gunung ini selalu diselimuti oleh awan putih. Jika orang berada di atas gunung ini, dia akan merasa seperti sedang berada di atas awan. Dia dapat melihat hamparan awan putih. Dan seolah kakinya sedang berpijak di atas awan. Itulah kenapa gunung ini disebut Puncak Putih. Padepokan ini hanya bisa dimasuki oleh orang-orang tertentu saja.
Saat itu puspa sedang berbincang-bincang dengan gurunya di pendopo padepokan.
"Puspa tibalah waktunya bagi kamu untuk turun gunung. Sudah cukup ilmu yang kuberikan padamu selama ini, Sekarang saatnya bagimu untuk berkelana mencari pengalaman di dunia luar sana. Dan bawalah kitab ini bersamamu. Aku tidak bisa mengajarkan ilmu dalam kitab ini, suatu hari nanti kamu akan tahu sendiri rahasia cara mempelajari ilmu dalam kitab ini. Kitab ini berisi ilmu Seribu Bayangan. Kumpulan jurus-jurus pukulan, tendangan, bahkan jurus-jurus menggunakan pedang. Tingkat tertinggi dari ilmu ini adalah kombinasi jurus-jurus pukulan, tendangan dan menggunakan pedang. " kata guru Puspa.
"Baiklah guru, terima kasih atas bimbinganmu selama ini. Puspa mohon pamit." tampak wajah puspa yang sedih karena akan berpisah dengan gurunya.
"Hati-hatilah diperjalanan puspa, janganlah bersedih, suatu hari nanti kita akan bertemu kembali“
“Baik guru".
Puspa pergi meninggalkan guru dan padepokannya. Dia memakai jurus meringankan tubuh untuk melompat dari satu pohon ke pohon lainnya. Dia sungguh lincah, selincah tupai menuruni Gunung Puncak Putih menuju ke arah selatan.
Setelah menempuh perjalanan beberapa hari, Sampailah Puspa di suatu pemukiman. Dia bermaksud untuk singgah di sebuah Rumah makan untuk mengisi perutnya yang sudah lapar dan beristirahat sejenak. Di tempat inilah Puspa pertama kali bertemu dan berkenalan dengan Rangga. Seperti yang sudah diceritakan pada bagian sebelumnya. rumah makan yang dikunjungi oleh Rangga dan puspa tiba-tiba diserang oleh orang yang tak dikenal (OTK) dengan jurus pukulan angin membelah bumi. Namun dengan kepekaannya, Rangga dapat mengetahui lebih awal akan adanya bahaya yang mengancam keselamatnya. Oleh karena itu Rangga segera bertindak menyelamatkan Puspa dan dirinya sendiri agar selamat serangan itu. Rangga membuat tabir pelindung dengan cepat untuk melindungi dirinya dan puspa dari serangan itu.
Orang yang menyerang rumah makan itu mendekat. Tubuhnya terlihat kurus dan tinggi. Pakaian yang dikenakannya berwarna serba hitam. Dia juga memakai ikat kepala berwarna merah. Wajahnya tampak seram, berkumis tebal dan berjenggot panjang dan warnanya sudah memutih. Mata kiri orang itu juling. Tampak tangan kanannya memancarkan cahaya berwarna merah. itu adalah aura tenaga dalamnya.
Tidak berhenti begitu saja, orang tak dikenal itu kembali melancarkan beberapa serangan hingga rumah makan itu benar-benar hancur rata dengan tanah. Puing-puing berserakan. Namun Rangga dan puspa bergeming (tidak bergerak) dari tempatnya dan kondisinya tampak baik-baik saja. Ada semacam tabir berbentuk bola berwarna biru transparan yang melindungi tubuh mereka berdua.
"Apa kamu tidak apa-apa puspa? “ tanya rangga
"Aku tidak apa-apa rangga. "
Rangga menatap tajam wajah orang yang telah melakukan penyerangan itu. Orang itu ada dihadapannya.
"Tuan, mengapa kau hancurkan rumah makan ini, sehingga banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban karena perbuatanmu itu. Apa maksud tuan melakukan itu? “ kata Rangga kepada orang yang telah menghancurkan rumah makan itu.
"Kau terlalu banyak omong bocah, Apapun yang aku lakukan di sini itu bukan urusanmu."
Orang itu tidak hanya melihat rangga, ternyata dia pun memperhatikan puspa yang ada di belakang rangga. Dia tertarik dengan pesona puspa.
"oooo... Ternyata ada juga wanita cantik disini. Apakah dia kekasihmu?. Sekerang kau serahkan saja wanita itu padaku, kalau kau tidak ingin mati.... Hahahaha... “ Kata orang yang mata kirinya juling itu.
"Sepertinya dia mengincar Puspa, tapi itu wajar saja. Puspa memang cantik. Siapa yang tidak tertarik padanya. Aku juga juga menyukainya. Enak saja dia meminta puspa dariku... “ ucap Rangga dalam hatinya “
Secara mendadak orang itu melesat dan menyerang rangga dengan pukulan tangan kanannya dari jarak dekat. Rangga dengan reflek menghindari serangan itu dengan menggeser tubuhnya ke samping. Serangan itu meleset dan menghantam rumah yang ada di belakang rangga, seketika rumah itu hancur. Rangga langsung melakukan serangan balasan dengan tendangan memutar yang cukup keras, tendangannya kaki kanannya tepat bersarang di punggung orang itu. Membuat orang itu terjerembap.
"Puspa, kita tidak perlu meladeni orang ini. Karena jika kita bertarung dengan orang ini, itu akan sangat membahayakan keselamatan penduduk yang ada di sini. ayo kita pergi! "
Tanpa ijin dari puspa, Rangga langsung menggendong tubuh Puspa. Dengan jurus meringankan tubuhnya, secepat kilat rangga meloncat ke atas atap rumah yang ada di dekatnya dan melompat ke beberapa atap rumah lainnya, dan dahan pepohonan besar yang dapat dijadikan sebagai pijakan. Rangga terus meloncat dan akhirnya keluar dari pemukiman itu dengan meloncati pagar. Rangga langsung masuk ke dalam hutan dengan mengendong puspa tubuh puspa. Mereka berhasil melarikan diri.
"Kurang ajar! Mother***r Anak muda sialan itu berani menyerangku, dan sekarang dia kabur membawa wanita itu. Dia tidak tahu sedang berurusan dengan siapa. Aku adalah Raja Setan Hitam. Aku akan mengejar kemanapun kalian pergi meskipun sampai ke ujung dunia ini. “
Dalam sekejap mata orang yang bernama Raja Setan Hitam itu melesat ke arah Rangga pergi. Namun sepertinya Rangga sudah pergi terlalu jauh masuk ke dalam rimba belantara yang tak jauh dari pemukiman itu. Raja Setan hitam tidak bisa mengejar karena sudah kehilangan jejak mereka. Dan itu membuatnya marah. Dia menghantamkan tangannya pada batu besar yang ada di dekatnya. Batu itu seketika hancur menjadi debu. Kekuatan dan ilmu Raja setan hitam memang menakutkan dia dikenal sebagai salah satu dedengkot aliran hitam yang sangat jahat dan ditakuti.
Jauh Di dalam hutan, Rangga berhenti dan menurunkan tubuh Puspa.
"Maafkan aku puspa, atas kekurangajaranku menggendongmu tanpa minta ijin darimu terlebih dahulu “ Rangga meminta maaf dengan wajah merasa bersalah.
“tidak apa-apa rangga, kamu tidak perlu minta maaf, aku berterima kasih karena kamu telah menolongku dari serangan dan kejaran orang itu". Puspa tersenyum pada rangga.
Puspa tahu rangga menggendong dan membawanya hanya karena ingin menolong dan pergi dari tempat itu. Tidak ada maksud lain. Walaupun sebenarnya dengan kemampuan yang dimilikinya. Puspa bisa menyelamatkan dirinya sendiri tanpa bantuan Rangga.
Rangga merasa lega puspa tidak marah kepadanya. Rangga bertanya kepada puspa.
"Apakah kamu kenal dengan orang yang menyerang kita tadi?"
"Dari ciri-ciri fisiknya, sepertinya dia adalah Raja setan hitam. Aku ingat, Guruku pernah bercerita tentang seseorang yang memiliki ciri-ciri mata kiri juling, berbadan tinggi dan kurus, serta tangan kanannya memancarkan cahaya merah. Orang itu adalah Raja Setan Hitam. Dia terkenal dengan jurus pukulan angin membelah bumi-nya. Dia sangat jahat dan kejam. Telah banyak petualang yang mati ditangannya. Guruku berpesan jika bertemu orang itu, aku harus berhati-hati dan sebaiknya menghindar." jelas Puspa
"Jadi nama orang itu adalah Raja Setan Hitam, dari yang aku lihat, sepertinya dia ingin membunuh semua orang yang ada dalam rumah makan itu, termasuk kita berdua. Jika yang dilakukannya itu hanya untuk bersenang-senang, maka Dia benar-benar sudah gila. Dan dia juga sempat mengincarmu Puspa. Karena dia menyuruhku untuk menyerahkan dirimu kepadanya. "
“Lalu kenapa kamu tidak menyerahkan aku pada Raja Setan Hitam?"
"Itu karena aku tidak ingin menyerahkanmu pada orang jahat seperti dia" kata rangga.
"Terus bagaimana jika orang baik, yang memintanya padamu rangga? “
“Tentu saja aku tetap tidak akan menyerahkan dirimu begitu saja, kalau kamu tidak mau." kata rangga.
Puspa tersenyum mendengar jawaban dari Rangga.
"Mulai saat ini kamu harus lebih berhati-hati. Karena diluar sana banyak orang-orang jahat. " kata rangga.
"Iya kamu benar Rangga, aku harus lebih berhati-hati. Terima kasih atas saranmu itu."
"Rangga..."
"Ada apa puspa?"
"Aku lapar rangga"
Rangga jadi teringat saat di rumah makan tadi, puspa belum sempat menghabiskan makanan yang telah dipesannya karena kejadian itu.
"Baiklah puspa, kamu tunggu disini, aku akan pergi berburu binatang yang bisa kita makan, semoga saja aku bisa mendapatkannya di sekitar hutan ini"
"Terima kasih rangga, aku akan menunggumu disini"
Rangga beranjak dari tempat duduknya, dan pergi mencari binatang buruan. Tak lama kemudian rangga kembali dan membawa hasil buruannya yaitu 2 ekor kelinci besar yang cukup untuk makan mereka berdua.
Puspa membuat perapian dari ranting dan dahan pohon kering untuk membakar kelinci itu. Dan rangga membersihkan kelinci itu sebelum dibakar. Setelah dibersihkan, kelinci itu dibakar di atas perapian hingga matang. Aroma daging kelinci bakar itu begitu menggugah selera makan.
Puspa membuka cadarnya dan dia mulai memakan daging kelinci itu secara perlahan karena daginya masih panas. Puspa meniup-niupnya agar tidak terlalu panas saat berada dimulutnya. Puspa begitu menikmati daging kelinci itu.
Tak terasa hari telah berganti malam dan matahari telah tenggelam di ufuk barat.
"Hari sudah mulai gelap, bagaimana kalau kita bermalam di hutan ini?" kata rangga.
"Aku tidak keberatan, namun bagaimana jika turun hujan atau ada binatang buas. Bukankah istirahat kita akan terganggu? Dimana kita harus berteduh dan berlindung. “
Sejenak rangga terdiam dan berpikir. Sesaat kemudian Rangga teringat sesuatu.
“tenang puspa, jangan kamu risaukan hal itu. Aku punya sesuatu. "
Rangga teringat petunjuk yang pernah dijelaskan oleh pemandu kepadanya tentang bagaimana menggunakan kantong yang dibawanya dari gua itu. Rangga memasukkan tangannya ke dalam kantong dan membayangkan sebuah rumah kecil yang terbuat dari kayu.
"Puspa lihatlah ini“
Rangga mengambil sesuatu benda kecil berbentuk rumah dari kantongnya. Dan melempar benda itu ke bidang tanah yang cukup untuk didirikan sebuah rumah kecil. Secara ajaib benda yang dilempar itu berubah menjadi sebuah rumah terbuat dari kayu.
"Wahhh hebat sekali.... Sungguh ajaib... Luar biasa.... Bagaimana kamu bisa membuat rumah itu, rangga. " kata puspa kaget melihat apa yang terjadi.
Rangga hanya tersenyum. Sebenarnya rangga juga kaget ternyata dalam kantong itu ada rumah juga. Padahal rangga hanya ingin membuktikan apakah benar kantong yang dia bawa itu berisi barang atau benda yang dibutuhkannya. Dan ternyata apa yang disampaikan oleh pemandu itu benar.
Mereka melangkah menuju pintu rumah dengan menaiki beberapa anak tangga terbuat dari kayu yang kuat. Rangga mempersilakan Puspa masuk ke rumah itu.
"Puspa, silakan masuk ke dalam. "
Puspa masuk ke dalam rumah yang masih gelap. Rangga mengikutinya dari belakang dan mengeluarkan berapa batu kristal yang bercahaya dari kantongnya untuk menerangi ruangan dalam rumah itu. Batu yang di bawa rangga sama seperti batu-batu kristal yang ada di dalam gua waktu itu.
"Puspa, kalau kamu tidur, silakan tidur dalam kamar itu, biar nanti aku tidur dikamar sebelah dan bawalah batu ini untuk menerangi ruang kamarmu. " kata rangga kepada Puspa.
Puspa menerima batu itu. Puspa takjub melihat batu kristal ditangannya. Batu itu bisa bercahaya terang dan cahayanya mampu menerangi ruangan dalam rumah itu. Namun cahayanya tidak begitu menyilaukan mata. Puspa masuk ke dalam kamar dengan membawa barang bawaannya.
Dalam Rumah itu cuma ada tiga ruangan, 2 kamar tidur dan ruangan depan. Dalam kamar ada sebuah lembaran terbuat dari kain yang tebal dan lembut yang nyaman untuk digunakan sebagai alas tidur. Dan ruangan diluarnya terhampar lembaran kain yang sama namun berukuran lebih lebar. Lantai rumah terbuat dari papan kayu yang kuat dan permukaannya halus. Lantai rumah itu tidak bersentuhan langsung dengan tanah, karena rumah ini berbentuk rumah panggung, namun tidak terlalu tinggi.
Tak lama kemudian puspa keluar dari dalam kamar.
"Kamu belum tidur Puspa?" tanya Rangga.
"Aku masih belum mengantuk" jawab Puspa
Lalu puspa berjalan ke arah rangga yang sedang duduk di atas lembaran kain di ruang depan itu. Puspa pun duduk di dekat Rangga.
"Rangga, kalau boleh aku tahu, sebenarnya kamu berasal dari mana?"
"Aku berasal daerah yang jauh dari sini ini. Aku sulit menceritakanya padamu, mungkin kau tidak akan percaya dengan apa yang aku ceritakan"
"Ceritakan saja, aku ingin tahu"
"Baiklah, aku akan menceritakannya padamu. aku sebenarnya berasal dari dunia lain, kedatanganku ke dunia ini adalah untuk mencari kakekku. Berdasarkan informasi yang aku dapatkan. Kakek berada di dunia ini, namun aku belum tahu secara rinci tempat kakek berada, dari petunjuk selanjutnya yang aku dapatkan, aku diminta untuk pergi ke ibu kota. Mungkin kakek ada disana. "
"Jadi kamu bermaksud akan mencari kakekmu di ibukota? "
"Iya aku akan pergi kesana mencari kakek. Lalu bagaimana denganmu Puspa, kamu sendiri berasal dari mana? “
“Aku berasal dari sebuah padepokan yang ada di puncak Gunung Puncak Putih. Aku tinggal bersama guru di sana sejak aku kecil. Bagiku guru sudah seperti nenekku sendiri, beliau sangat baik padaku, beliau telah mengajari aku berbagai macam hal, termasuk ilmu bela diri. Aku di sana hanya tinggal berdua. Sekarang aku diberi tugas oleh beliau untuk pergi berpetualang. "
"Antara kakekku dan gurumu memiliki persamaan. Mereka adalah orang-orang yang baik. " kata rangga.
"iyaa, semoga keadaan mereka selalu baik-baik saja" kata puspa.
Malam semakin larut, angin malam berhembus dingin menyapu dedaunan di atas tanah hutan itu. Dahan dan ranting menari-nari tertiup oleh angin. Daun-daun berguguran. Suara binatang dan serangga malam bersahutan. Langit tampak semakin gelap karena awan mendung. Hujan rintik mulai turun. cahaya petir yang berkilatan diikuti suara guntur sangat keras menggelegar memecah keheningan malam.
Di dalam rumah, puspa kaget dan spontan langsung memeluk dan menyembunyikan wajahnya di dada rangga. Sebenarnya puspa hanya berpura-pura takut agar di bisa memeluk rangga. Puspa teringat saat rangga menggendongnya siang itu. Hati puspa merasa senang meskipun dalam keadaan berbahaya saat itu. Jatungnya berdebar-debar dan ada suatu perasaan aneh yang belum pernah puspa rasakan sebelumnya.
"Aku takut rangga." ucap puspa.
"Kamu, tidak usah takut puspa, itu hanya suara guntur."
Saat puspa memeluknya, rangga juga merasakan jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Entah perasaan apa yang dirasakan oleh rangga. Darah dalam tubuhnya terasa mengalir lebih cepat. Inilah pertama kalinya rangga dipeluk oleh seorang wanita. Perasaan ini sama dengan rangga rasakan saat menggendong puspa tadi siang.
Puspa pun mendengar suara detak jantung rangga. Dengan memeluk rangga Puspa merasa nyaman.
Awalnya Rangga agak canggung, dan akhirnya memberanikan diri menyentuh dan membelai rambut puspa dengan tangan kanannya secara perlahan, sementara tangan kirinya mengelus-elus pundak puspa. Dan itu membuat puspa semakin nyaman.
Petir masih menyambar-nyambar dan hujan turun semakin deras. Puspa tertidur dalam posisi masih memeluk rangga. Rangga beranjak dari tempat duduknya, menggendong puspa dan melangkah menuju ke kamar. Sesampainya di kamar, Rangga meletakkan tubuh puspa di atas alas tidur yang ada di dalam kamar itu. Sebelum meninggalkan kamar, Sejenak rangga menatap wajah puspa yang terlelap dalam tidurnya, bibirnya terlihat dalam keadaan tersenyum, wajahnya sungguh cantik jelita. Rangga pun tersenyum dan melangkah keluar dari kamar itu.
Rangga masuk ke dalam kamarnya dan duduk bersila dan merapalkan mantra untuk membentuk tabir pelindung di sekitar rumah agar tidak terganggu oleh ancaman dari siapapun, baik manusia jahat maupun binatang buas. Seketika itu rumah terselubungi oleh tabir pelindung yang tak kasatmata. Tabir itu berbentuk setengah bola yang menutupi rumah itu. Hanya orang yang berilmu tinggi yang bisa melihat dan menembus tabir pelindung itu.
Malam semakin larut, Rangga membaringkan tubuhnya di atas lembaran kain dan menutup matanya. Tak lama kemudian dia pun terlelap tidur.
Ayam jantan di hutan berkokok bersahutan dan burung-burung berkicau menyambut terbitnya sang mentari menerangi bumi. Rangga mulai terbangun dari tidurnya. Matanya sedikit demi sedikit terbuka. Kemudian Rangga kembali duduk bersila dengan mata terpejam untuk melakukan penginderaan.
Rangga memiliki kemampuan pengindraan untuk melihat kondisi sekitarnya yang berjarak beberapa ratusan meter dari tempatnya berada tanpa terhalang apapun. Penginderaan ini dilakukan dengan cara meminjam pengelihatan hewan-hewan yang ada di dalam hutan.
Dengan kemampuan penginderaannya, Rangga sedang berusaha mencari sungai yang ada dekat dengan rumahnya. Dari hasil pengindraannya, rangga berhasil menemukan sungai yang terdekat dengan rumah. Sebuah sungai kecil dengan arus air yang tidak terlalu deras. Rangga beranjak dari duduknya dan melangkah ke pintu kamar puspa. Rangga mengetuk pintu kamar beberapa kali.
"Tunggu sebentar Rangga“ kata Puspa dari dalam kamar. Terdengar suara langkahnya mendekati pintu. Dan pintu kamar terbuka. Tampak wajah puspa yang cantik meskipun belum mandi. Rambutnya hitam panjang terurai menambah kecantikannya. Rangga terpesona melihat kecantikan puspa yang seperti seorang bidadari itu.
"Ada apa rangga?" kata puspa.
Rangga masih bengong seperti sedang terhipnotis oleh puspa. Mata tidak berkedip melihat puspa.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu, apa ada yang salah dengan wajahku?"
"tidak... bukan begitu... nganu.... Puspa.. " Rangga jadi gugup dan salah tingkah. Rangga Garuk-garuk kepalanya padahal tidak gatal.
Puspa hanya tersenyum melihat tingkah laku rangga. Rangga menarik nafas sejenak dan kembali bicara untuk menetralkan suasana.
“Puspa apakah kamu ingin pergi mandi, di dekat rumah ini ada sebuah sungai, kamu bisa mandi di sana. " kata rangga sambil menunjukkan arah dimana sungai itu berada.
"Baiklah, tapi kamu jangan mengintip kalau aku sedang mandi ya.. " kata puspa menggoda rangga dan mencubit perut rangga. Sambil melangkah masuk ke kamar mengambil perlengkapan mandi.
Muka rangga memerah mendengar perkataan puspa. Lalu rangga pun berkata.
"Apakah wajahku tampak seperti orang mesum?. Tentu saja tidak. Aku tidak akan mengintipmu mandi. Tenang saja. “
" kamu tidak tahu puspa, kalau aku mau, aku tidak perlu mengintipmu. Dari sini, Aku bisa melihatmu mandi dengan kemampuan penginderaanku....hehehehe" kata rangga di dalam hatinya. Tampak tanduk iblis muncul di kepala rangga.
Puspa keluar dari kamarnya dan berkata pada rangga.
" Jangan marah rangga. aku hanya bercanda " kata puspa sambil tersenyum kepada rangga sambil berlalu pergi membawa pakaian ganti perlengkapan mandi menuju sungai.
Ditempat lain
Sementara itu di Ibu kota, suasana begitu ramai. pejalan kaki berlalu lalang di jalan ibu kota. Tiba-tiba aktivitas mereka terhenti saat mereka mendengarkan suara terompet dan suara orang berkata "Yang mulia Pangeran Bramantia akan lewat". Mereka melihat iring-iringan itu mulai mendekat dari kejauhan. Orang-orang di jalan spontan menepi untuk memberi jalan pada iring-iringan itu untuk lewat. Iring-iringan itu terdiri atas sebuah kereta kencana dan sekumpulan prajurit berjalan kaki dan sebagian lagi berkuda, Mereka berbadan tegak dan gagah. Para Prajurit itu bertugas mengawal pangeran. Mereka ada yg bertugas di depan dan di belakang kereta. Prajurit itu ada yang bersenjata pedang dan sebagian membawa tombak dan pisau yang terselip di pinggang mereka.
Tampak seorang laki-laki di dalam kereta. Dia berpakaian mewah seperti bangsawan dan memakai mahkota berwarna emas yang melingkar dikepalanya. Laki-laki itu berwajah tampan, Dialah Pangeran Bramantia. Pandangannya mengarah keluar jendela kereta. Dia melihat ke arah orang-orang dikeluar sana. Dia tersenyum kepada mereka. Orang-orang itu hanya menundukkan wajah tanda mereka memberi hormat.
Baca kisah sebelumnya:
Sang Petualang - Bagian I: Kakek menghilang
Sang Petualang - Bagian II: Sebuah Petunjuk
Sang Petualang - Bagian III: Misi Pertama (1)